Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu
merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10
tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga
menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan
dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945,
pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam
Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3
Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota
DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian
ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun
setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang di
maksudkan oleh Maklumat X,
pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955
untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya
disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk
memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada
kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari
faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain
ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum
tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan
pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang
tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah
yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan
asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal
antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang
sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa
dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat
untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya
keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah
dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian
diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No
12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah
bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini
didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu
itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan
akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan
pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai
dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia
Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu
itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949
menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi.
Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57
UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut
berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta
sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih
30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran
berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota
DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka
tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat
bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena
itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan
dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini
dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih
anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan
semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No. |
Partai/Nama Daftar |
Suara
|
%
|
Kursi
|
1.
|
Partai Nasional Indonesia (PNI) |
8.434.653
|
22,32
|
57
|
2.
|
Masyumi |
7.903.886
|
20,92
|
57
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU) |
6.955.141
|
18,41
|
45
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia (PKI) |
6.179.914
|
16,36
|
39
|
5.
|
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) |
1.091.160
|
2,89
|
8
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia (Parkindo) |
1.003.326
|
2,66
|
8
|
7.
|
Partai Katolik |
770.740
|
2,04
|
6
|
8.
|
Partai Sosialis Indonesia (PSI) |
753.191
|
1,99
|
5
|
9.
|
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) |
541.306
|
1,43
|
4
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) |
483.014
|
1,28
|
4
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional (PRN) |
242.125
|
0,64
|
2
|
12.
|
Partai Buruh |
224.167
|
0,59
|
2
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) |
219.985
|
0,58
|
2
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia (PRI) |
206.161
|
0,55
|
2
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) |
200.419
|
0,53
|
2
|
16.
|
Murba |
199.588
|
0,53
|
2
|
17.
|
Baperki |
178.887
|
0,47
|
1
|
18.
|
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro |
178.481
|
0,47
|
1
|
19.
|
Grinda |
154.792
|
0,41
|
1
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) |
149.287
|
0,40
|
1
|
21.
|
Persatuan Daya (PD) |
146.054
|
0,39
|
1
|
22.
|
PIR Hazairin |
114.644
|
0,30
|
1
|
23.
|
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) |
85.131
|
0,22
|
1
|
24.
|
AKUI |
81.454
|
0,21
|
1
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa (PRD) |
77.919
|
0,21
|
1
|
26.
|
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) |
72.523
|
0,19
|
1
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda (Acoma) |
64.514
|
0,17
|
1
|
28.
|
R.Soedjono Prawirisoedarso |
53.306
|
0,14
|
1
|
29.
|
Lain-lain |
1.022.433
|
2,71
|
-
|
Jumlah
|
37.785.299
|
100,00
|
257
|
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember
1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di
Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi
yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante
menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara
Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot
114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah
sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No. |
Partai/Nama Daftar |
Suara
|
%
|
Kursi
|
|
1.
|
Partai Nasional Indonesia (PNI) |
9.070.218
|
23,97
|
119
|
|
2.
|
Masyumi |
7.789.619
|
20,59
|
112
|
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU) |
6.989.333
|
18,47
|
91
|
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia (PKI) |
6.232.512
|
16,47
|
80
|
|
5.
|
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) |
1.059.922
|
2,80
|
16
|
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia (Parkindo) |
988.810
|
2,61
|
16
|
|
7.
|
Partai Katolik |
748.591
|
1,99
|
10
|
|
8.
|
Partai Sosialis Indonesia (PSI) |
695.932
|
1,84
|
10
|
|
9.
|
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) |
544.803
|
1,44
|
8
|
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) |
465.359
|
1,23
|
7
|
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional (PRN) |
220.652
|
0,58
|
3
|
|
12.
|
Partai Buruh |
332.047
|
0,88
|
5
|
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) |
152.892
|
0,40
|
2
|
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia (PRI) |
134.011
|
0,35
|
2
|
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) |
179.346
|
0,47
|
3
|
|
16.
|
Murba |
248.633
|
0,66
|
4
|
|
17.
|
Baperki |
160.456
|
0,42
|
2
|
|
18.
|
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro |
162.420
|
0,43
|
2
|
|
19.
|
Grinda |
157.976
|
0,42
|
2
|
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) |
164.386
|
0,43
|
2
|
|
21.
|
Persatuan Daya (PD) |
169.222
|
0,45
|
3
|
|
22.
|
PIR Hazairin |
101.509
|
0,27
|
2
|
|
23.
|
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) |
74.913
|
0,20
|
1
|
|
24.
|
AKUI |
84.862
|
0,22
|
1
|
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa (PRD) |
39.278
|
0,10
|
1
|
|
26.
|
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) |
143.907
|
0,38
|
2
|
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda (Acoma) |
55.844
|
0,15
|
1
|
|
28.
|
R.Soedjono Prawirisoedarso |
38.356
|
0,10
|
1
|
|
29.
|
Gerakan Pilihan Sunda |
35.035
|
0,09
|
1
|
|
30.
|
Partai Tani Indonesia |
30.060
|
0,08
|
1
|
|
31.
|
Radja Keprabonan |
33.660
|
0,09
|
1
|
|
32.
|
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) |
39.874
|
0,11
|
|
|
33.
|
PIR NTB |
33.823
|
0,09
|
1
|
|
34.
|
L.M.Idrus Effendi |
31.988
|
0,08
|
1
|
|
|
lain-lain |
426.856
|
1,13
|
|
|
Jumlah
|
37.837.105
|
|
514
|
|
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa
dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu
tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun
tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan
Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk
membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang
diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali
otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof.
Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika
pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah
sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.
Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959
membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua
anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan,
memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat
klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi,
konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di
bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang
Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya
krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal
semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi
Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah
tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang
mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk
kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat
pemilihan berkala
Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR
bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga
tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap
berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli
1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi
kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU)
kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR
menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri
memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah
bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral.
Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang
berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak
kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar
seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang
digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu
1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi
terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang
meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi,
kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai
terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.
Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa
masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara
terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan
tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan
keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias
perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional
suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih
sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah
ini.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
1. |
Golkar |
34.348.673
|
62,82
|
236
|
2. |
NU |
10.213.650
|
18,68
|
58
|
3. |
Parmusi |
2.930.746
|
5,36
|
24
|
4. |
PNI |
3.793.266
|
6,93
|
20
|
5. |
PSII |
1.308.237
|
2,39
|
10
|
6. |
Parkindo |
733.359
|
1,34
|
7
|
7. |
Katolik |
603.740
|
1,10
|
3
|
8. |
Perti |
381.309
|
0,69
|
2
|
9. |
IPKI |
338.403
|
0,61
|
-
|
10. |
Murba |
48.126
|
0,08
|
-
|
Jumlah |
54.669.509
|
100,00
|
360
|
Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi peroleh-an
suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi
sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu 1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.
Pembagian Kursi Hasil Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan Sistem Kombinasi (hipotetis)
No.
|
Partai
|
Jumlah Suara Secara Nasional
|
Jumlah Kursi Pada Pembagian Pertama
|
Sisa Suara Setelah Pembagian Pertama
|
Perolehan pada Pembagian Kursi Sisa Pertama
|
Jumlah Sisa Suara Setelah Pembagian Kursi Sisa
|
Kursi Atas Suara Terbesar
|
Jumlah Kursi
|
1 |
Golkar |
34.339.708
|
214
|
1.342.084
|
11
|
81.770 (III)
|
1
|
226
|
2 |
NU |
10.201.659
|
48
|
1..323.245
|
11
|
62.931
|
-
|
59
|
3 |
PNI |
3.793.266
|
16
|
908.061
|
7
|
106.043 (II)
|
1
|
24
|
4 |
Parmusi |
2.930.919
|
10
|
1.389.435
|
12
|
14.547
|
|
22
|
5 |
PSII |
1.257.056
|
1
|
1.039.280
|
9
|
8.000
|
-
|
10
|
6 |
Parkindo |
697.618
|
1
|
628.752
|
5
|
53.882
|
-
|
6
|
7 |
Katolik |
603.740
|
2
|
412.428
|
3
|
68.706 (IV)
|
1
|
6
|
8 |
Perti |
380.403
|
2
|
180.240
|
1
|
65.666 (V)
|
1
|
4
|
9 |
IPKI |
338.376
|
-
|
338.376
|
2
|
109.228 (I)
|
1
|
3
|
10 |
Murba |
47.800
|
-
|
47.800
|
-
|
47.800
|
-
|
-
|
|
|
54.669.509
|
294
|
7.561.901
|
61
|
|
5
|
360
|
- Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing. Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam) merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur 8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak karena masih tersisa 7 kursi lagi.
Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang
tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa
terbesar pun perolehan suara partai tersebut tidak mencukupi. Karena
peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh
kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas
Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai
terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu
1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5
tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya
adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol
dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama
dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No.
3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia
atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu,
yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga
tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan
PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi
pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak
langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah
kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan
militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara
berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian
kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem
proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang
sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu
Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan
kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan
Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI
Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil
meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5
kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini
seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi
kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan
suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara
nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat
dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi
atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan
Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa
dilihat pada tabel di bawah ini.
No. |
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1971)
|
Keterangan
|
1. |
Golkar |
39.750.096
|
62,11
|
232
|
62,80
|
- 0,69
|
2. |
PPP |
18.743.491
|
29,29
|
99
|
27,12
|
+ 2,17
|
3. |
PDI |
5.504.757
|
8,60
|
29
|
10,08
|
- 1,48
|
Jumlah
|
63.998.344
|
100,00
|
360
|
100,00
|
|
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada
tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara
nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh.
Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari
PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu
berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih
48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu
ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
No. |
Partai |
Suara DPR
|
%
|
Kursi
|
% (1977)
|
Keterangan
|
1. |
Golkar |
48.334.724
|
64,34
|
242
|
62,11
|
+ 2,23
|
2. |
PPP |
20.871.880
|
27,78
|
94
|
29,29
|
- 1,51
|
3. |
PDI |
5.919.702
|
7,88
|
24
|
8,60
|
- 0,72
|
Jumlah
|
75.126.306
|
100,00
|
364
|
100,00
|
|
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987
secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara
yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi
juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni
hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61
kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi
partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada
Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama
Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi
299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan
kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil
Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil
menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu
1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
No. |
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1982)
|
Keterangan
|
1. |
Golkar |
62.783.680
|
73,16
|
299
|
68,34
|
+ 8,82
|
2. |
PPP |
13.701.428
|
15,97
|
61
|
27,78
|
- 11,81
|
3. |
PDI |
9.384.708
|
10,87
|
40
|
7,88
|
+ 2,99
|
Jumlah |
85.869.816
|
100,00
|
400
|
|
|
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu
sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9
Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab,
perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau
pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu
1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan
yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari
299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi
dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi
di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada
Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada
penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak
memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di
Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa,
tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya
mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah
adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan
kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi.
Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah
32 kursinya di DPR RI.
No. |
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1987)
|
Keterangan
|
1. |
Golkar |
66.599.331
|
68,10
|
282
|
73,16
|
- 5,06
|
2. |
PPP |
16.624.647
|
17,01
|
62
|
15,97
|
+ 1,04
|
3. |
PDI |
14.565.556
|
14,89
|
56
|
10,87
|
+ 4.02
|
Jumlah
|
97.789.534
|
100,00
|
400
|
100,00
|
|
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak
berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977,
1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei
1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami
kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya.
Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan
perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi
dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu
pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi
atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap
partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara
PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu,
perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi,
yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
No. |
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1992)
|
Keterangan
|
1. |
Golkar |
84.187.907
|
74,51
|
325
|
68,10
|
+ 6,41
|
2. |
PPP |
25.340.028
|
22,43
|
89
|
17,00
|
+ 5,43
|
3. |
PDI |
3.463.225
|
3,06
|
11
|
14,90
|
- 11,84
|
Jumlah
|
112.991.150
|
100,00
|
425
|
100,00
|
|
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan
terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan
kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap
keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun,
tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal
21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat
segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan
diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap
tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan
Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini
disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai
oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari
partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat
menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak
1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini
dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan
setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan
sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia
naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya
krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial
dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan
suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7
Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak
pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai,
tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di
Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur
suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya
perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar,
tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat
menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik
menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih
Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut
ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah
sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor |
Nama Partai |
1. |
Partai Keadilan |
2. |
PNU |
3. |
PBI |
4. |
PDI |
5. |
Masyumi |
6. |
PNI Supeni |
7. |
Krisna |
8. |
Partai KAMI |
9. |
PKD |
10. |
PAY |
11. |
Partai MKGR |
12. |
PIB |
13. |
Partai SUNI |
14. |
PNBI |
15. |
PUDI |
16. |
PBN |
17. |
PKM |
18. |
PND |
19 |
PADI |
20. |
PRD |
21. |
PPI |
22. |
PID |
23. |
Murba |
24. |
SPSI |
25. |
PUMI |
26 |
PSP |
27. |
PARI |
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan
KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut
kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu
diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan
wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu
memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas
partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut
keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil
pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26
Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)
langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah.
Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang
ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak
oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di
KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan
dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan
memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan
pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil
pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi
DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau
33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758
suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan
205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61
persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71
persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu
1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.
Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot
tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau
kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan
pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.
No. |
Nama Partai |
Suara DPR
|
Kursi Tanpa SA
|
Kursi Dengan SA
|
1.
|
PDIP |
35.689.073
|
153
|
154
|
2.
|
Golkar |
23.741.749
|
120
|
120
|
3.
|
PPP |
11.329.905
|
58
|
59
|
4.
|
PKB |
13.336.982
|
51
|
51
|
5.
|
PAN |
7.528.956
|
34
|
35
|
6.
|
PBB |
2.049.708
|
13
|
13
|
7.
|
Partai Keadilan |
1.436.565
|
7
|
6
|
8.
|
PKP |
1.065.686
|
4
|
6
|
9.
|
PNU |
679.179
|
5
|
3
|
10.
|
PDKB |
550.846
|
5
|
3
|
11.
|
PBI |
364.291
|
1
|
3
|
12.
|
PDI |
345.720
|
2
|
2
|
13.
|
PP |
655.052
|
1
|
1
|
14.
|
PDR |
427.854
|
1
|
1
|
15.
|
PSII |
375.920
|
1
|
1
|
16.
|
PNI Front Marhaenis |
365.176
|
1
|
1
|
17.
|
PNI Massa Marhaen |
345.629
|
1
|
1
|
18.
|
IPKI |
328.654
|
1
|
1
|
19.
|
PKU |
300.064
|
1
|
1
|
20.
|
Masyumi |
456.718
|
1
|
-
|
21.
|
PKD |
216.675
|
1
|
-
|
22.
|
PNI Supeni |
377.137
|
-
|
-
|
23
|
Krisna |
369.719
|
-
|
-
|
24.
|
Partai KAMI |
289.489
|
-
|
-
|
25.
|
PUI |
269.309
|
-
|
-
|
26.
|
PAY |
213.979
|
-
|
-
|
27.
|
Partai Republik |
328.564
|
-
|
-
|
28.
|
Partai MKGR |
204.204
|
-
|
-
|
29.
|
PIB |
192.712
|
-
|
-
|
30.
|
Partai SUNI |
180.167
|
-
|
-
|
31.
|
PCD |
168.087
|
-
|
-
|
32.
|
PSII 1905 |
152.820
|
-
|
-
|
33.
|
Masyumi Baru |
152.589
|
-
|
-
|
34.
|
PNBI |
149.136
|
-
|
-
|
35.
|
PUDI |
140.980
|
-
|
-
|
36.
|
PBN |
140.980
|
-
|
-
|
37.
|
PKM |
104.385
|
-
|
-
|
38.
|
PND |
96.984
|
-
|
-
|
39.
|
PADI |
85.838
|
-
|
-
|
40.
|
PRD |
78.730
|
-
|
-
|
41.
|
PPI |
63.934
|
-
|
-
|
42.
|
PID |
62.901
|
-
|
-
|
43.
|
Murba |
62.006
|
-
|
-
|
44.
|
SPSI |
61.105
|
-
|
-
|
45.
|
PUMI |
49.839
|
-
|
-
|
46
|
PSP |
49.807
|
-
|
-
|
47.
|
PARI |
54.790
|
-
|
-
|
48.
|
PILAR |
40.517
|
-
|
-
|
Jumlah
|
105.786.661
|
462
|
462
|
- Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
- Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem
proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah
partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di
daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu
sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai
di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama
dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu
mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan
suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan.
Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di
urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai
mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara
penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat
II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan
pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan
bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya
untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu
2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004
nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak
hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman
tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik
lagi.
Dikutip dari :http://kpud-garutkab.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar